Rabu, November 19, 2008

Ayah Yang Aku Kagumi

  • Banyak omelan yang kudapat darinya
  • Tangannya yang sebesartangan raksasa, sudah sering mencubit aku
  • Kupingku di jewe'r sampai terasa sebesar kuping gajah
  • Aku dihukum berdiri dibawah terik matahari dengan kedua tangan terlentang dan kaki kanan di angkat (seperti jurus Elang Terbang)
  • Aku dipukul pakai rotan, penggaris, cambuk, ataupun gagang sapu, semua sudah pernah aku rasakan ( rasanya gurih, sedikit pedas di kulit) hehehe bener Hat.
Semua itu pernah Ayah lakukan padaku, saat aku kecil dulu.
Pernah di suatu hari aku mendapatkan hukuman gabungan dari beberapa hukuman di atas, entah SETAN atau IBLIS yang sedang merasuki Ayahku. Saat itu hari minggu, aku dan kakakku (Refki ) bermain kerumah mas Bambang karena disana ada Video Game (satu-satunya permainan paling OK kala itu) dan kusadar aku tak punya yang seperti itu (MAHAAAL). Mulai dari pagi aku dan kakak asyik main hingga tak terasa sudah jam 12 siang (semestinya kami sudah harus ada di rumah) walau sebenarnya kami sudah punya rencana untuk pulang, tapi mas Bambang melarang kami, kamipun terbujuk dengan rayuan gombalnya (dasar emang kamu yang nggak mau pulang) heeehe akhirnya kami memutuska untuk tidak pulang karena terdorong oleh permainan Video Game yang tak ada matinya (Super Mario, Contra, Jakal,Popeye, hehehe asyik)

Sayup-sayup terdengar di telinga kami suara adzan maghrip, Gawat kenapa waktu berjalan egitu cepat. Tiba-tiba Ibu datang menjemput kami berdua dengan senyum yang terlihat dipaksakan di depan mas Bambang.
Kamipun berpamitan pulang, di jalan Ibu terus ngomel-ngomel, ia bilang sudah mencari kami dari tadi siang (kasian). Setiba di depan rumah Ayah terlihat duduk di kursi teras (menunggu), wajahnya suram tak ada kerut kebahagiaan, tatapan matanya tajam kalahkan kilau mata kucing di malam hari, jantungku berdetak kencang (perasaan sudah nggak karu-karuan) sambil merunduk aku berjalan menghampiri. Tangan raksasa itu langsung menjewer telinga kami berdua, sambil ngomel-ngomel Ayah tumpahkan semua emosi hingga terucap kata perintah buat kami untuk pergi dari rumah. Sontak aku kaget, Ayah mengusir kami, hatiku berkecamuk (ingin pergi tak mau, ingin tinggal takut dengan Ayah) perasaan bingung dan ketakutanku bercampur jadi satu. Tia-tiba kakak menggandeng tanganku (mengajak aku pergi) entah apa yang membuatnya yakin untuk pergi dari rumah.

Kami berjalan meninggalkan rumah, terdengar suara Ibu menangis, ku tengok Ibu melambai padaku seakan tak ingin aku pergi meninggalkan rumah. Hingga sampai di tepi jalan Ibu berteriak memanggil kami (keras sekali) sambil menangis menyuruh kami kembali, kami berdua terhenti ditepi jalan melihat Ibu (gaya sinetron) sementara Ibu terus berteriak memanggil kami melambaikan tangan tak ingin kami pergi, beberapa saat kemudian akhirnya kamipun kembali menuju rumah. Ayah masih di teras berdiri tegak dengan rotan di tangan kanan, lagi-lagi jantungku berdetak kencang, tak erani menatap wajah Ayah. Sampai didepan Ayah rotan itupun terayun mengarah kekakiku, tetep sambil ngomel-ngomel Ayah terus memukulku seakan tanpa ampun dan tak hanya kaki, punggungkupun jadi korban pendaratan bebas rotan itu.

Kemudian kami berdua di taruh di halaman belakang rumah, berdiri dengan satu kaki, sedangkan Ayah terus mengamati dari cendela. Tangisku mulai tersedak-sedak mewarnai hari yang mulai petang, menahan rasa sakit di kaki dan tubuhku, sementara nyamuk malah juga ikut-ikutan menambah penderitaan.

Kurang lebih satu jam kami erdiri dengan satu kaki, Ayah muncul, menyuruh kami masuk rumah, Haaah! akhirnya usai sudah hukuman ini.
Ternyata hukuman itu belum berakhir, Ayah masih menyeret kami ke kamar mandi (maklum dari pagi belum mandi) mengguyur kami berdua dengan penuh kemarahan yang seolah masih belum terpuaskan. Luka-luka bekas pukulan tadi tak lagi sakit, malah kini bertambah perih karena air yang membasahi.

Setelah selesai Ibu menghanduki kami dan menyuruh kami pergi tidur. Kuperkirakan sekitar jam 9.30 malam aku tidur tengkurap dikamarku (kenapa) karena kalau terlentang luka-luka dipunggungku akan terasa lebih perih, dan aku saat itu masih menangis tak ada suara (cengeng) tak ada air mata hingga aku tertidur di malamku yang kusam.

Esok paginya Ayah tampak biasa saja padaku, dengan senyum di bibirnya seakan tak melakukan kekejaman semalam. Itulah Ayahku, yang sangat sayang padaku, seorang Ayah yang tak inginkan aku salah jalan.
Pagi itu Ayahku telah kembali, kembali menjadi seorang Ayah yang aku KAGUMI.

0 KOMENTARMU: